Friday, November 30, 2012

Mahar Bukan Harta Bersama



Di dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang ditetapkan melalui Inpres No.1 Tahun 1991, menyebutkan di dalam Pasal 1 huruf d, yaitu yang dimaksud dengan Mahar adalah “Pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam”. Sedangkan, berdasarkan Pasal 1 huruf f KHI yang dimaksud dengan Harta kekayaan dalam perkawinan (harta bersama) atau dalam hukum Islam dikenal dengan istilah “Syirkah” yaitu “ harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”.


Berdasarkan pengertian KHI tersebut di atas, maka mahar bukanlah harta bersama, karena mahar diberikan calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita sebelum sahnya ikatan perkawinan atau diberikan dan diucapkan pada saat dilangsungkannya ijab qabul antara calon mempelai pria dengan wali nikah calon mempelai wanita. Sedangkan, harta bersama didapatkan oleh suami dan/atau istri selama dalam ikatan perkawinan. Mahar diberikan kepada calon mempelai wanita dan sejak saat itu menjadi hak pribadinya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 32 KHI, yang menyebutkan: “Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya”.


Mahar sebuah rumah yang diberikan calon suami kepada calon istri sebelum ikatan perkawinan bukan merupakan harta bersama dan sejak pemberian itu, maka berupa rumah tersebut menjadi hak pribadi si istri. Dengan demikian, apabila telah terjadi perceraian, maka rumah tersebut tidak diperhitungkan sebagai harta bersama (gono-gini), sehingga rumah tersebut tetap menjadi milik mantan istri dan mantan istri karena haknya dapat menjual tanpa adanya persetujuan mantan suami.


Pembagian harta gono-gini dalam KHI diatur secara khusus di dalam Pasal 85 sampai Pasal 97 KHI. Dalam Pasal 97 KHI disebutkan dan diatur bahwa:

“Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”

Dengan demikian, menurut ketentuan KHI, maka bagian masing-masing mantan suami-mantan istri adalah seperdua (½) dari harta bersama, kecuali diperjanjikan lain dalam Perjanjian Perkawinan. Perjanjian perkawinan adalah sebuah perjanjian tertulis yang dibuat sebelum perkawinan dan disahkan oleh Pejabat Pencatat Perkawinan mengenai kedudukan harta dalam perkawinan yang tidak bertentangan dengan hukum islam (Pasal 47 KHI jo. Pasal 29UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan/”UUP”).


Dalam praktik, pembagian harta bersama juga dapat dilakukan berdasarkan hasil kesepakatan antara suami-istri pada saat proses persidangan berlangsung, baik di dalam sidang maupun di luar persidangan. Hasil kesepakatan tersebut kemudian dapat diajukan kepada majelis hakim yang memeriksa dan memutus permohonan cerai atau gugatan cerai tersebut. Selanjutnya, kesepakatan tentang harta bersama tersebut ditetapkan dan termuat dalam putusan dan mengikat bagi kedua belah pihak, baik mantan suami-atau mantan istri, setelah perceraian dinyatakan sah menurut hukum.


Pada prinsipnya, berdasarkan ketentuan Pasal 92 KHI dihubungkan dengan Pasal 36 ayat (1) UUP, baik suami atau istri tidak dapat menjual atau memindahkan harta bersama tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan pihak lainnya (istri atau suaminya):

“Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak” (Pasal 36 ayat [1] UUP);

“Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama” (Pasal 92 KHI).


Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 47 ayat (3) KHI, apabila sebelum perkawinan telah dibuat dan disahkan oleh Pejabat Pencatat Perkawinan sebuah perjanjian tertulis yang di dalamnya menyebutkan kewenangan masing-masing pihak, baik istri atau suami untuk mengadakan hak hipotik (menjaminkan dengan hak tanggungan) atas harta pribadi dan harta bersama, maka baik suami atau istri dapat melakukan perbuatan hukum menjaminkan harta bersama dan harta pribadi tersebut dengan hak tanggungan tanpa terlebih dahulu mendapatkan persetujuan istri atau suaminya.

“Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat” (Pasal 47 ayat [3] KHI).


Dasar hukum:
1. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam;



No comments:

Post a Comment