Friday, November 9, 2012

Merevisi Turast Ushul Fiqh


Kenapa ushul fiqh perlu direvisi kembali ? Ya, karena Turast Ushul Fiqh sudah berumur 13 abad lamanya. Tentunya banyak hal-hal yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman sekarang, baik dari sisi metodologi penulisan, isi dan muatan, bentuk cetakan, serta pemilihan bahasa. 


Kalau kita telusuri perjalan dan perkembangan ushul fiqh dari waktu ke waktu selama 13 abad tersebut, ternyata telah terjadi perubahan-perubahan yang sangat mendasar, baik dari sisi metodologi penulisan, maupun dari sisi materi pembahasan . 


Kita dapati perubahan yang sangat besar sejak periode Imam Syafi’i, Imam Haramain (478 H), dan Imam Ghozali (505 H), Imam Fakhrur Rozi (606 H), kemudian dikembangkan oleh Imam Qarafi (687 H). 


Dari Madzhab Hanafi, semenjak Abu Mansur Al Maturidi (333 H), Abu Hasan Al Karkhi (340 H), kemudian Abu Bakar Al Jashos, Al-Dabusi (430 H), Al Bazdawi, As Sarakhsi (483 H) , dan terakhir An Nasfi (710 H), masing-maisng telah melakukan perubahan yang cukup berarti dari tulisan-tulisan generasi sebelumnya dan begitu seterusnya, sebagaimana yang telah diterangkan di atas. 


Kemudian pada abad ke 15 H sekarang ini, setelah melalui modifikasi dan perkembangan selama 13 abad lamanya, bermunculan buku-buku ushul fiqh yang metodogi penulisannya menggunakan pendekatan- pendekatan tertentu seperti pendekatan yang memudahkan para penuntut ilmu, atau pendekataan yang menekankan pada penelitian, atau pendekatan yang cenderung kepada studi komperatif, ataupun pendekatan yang cenderung untuk mengambilkan fungsi awal ushul fiqh yang digunakan untuk memahami Al Qur’an dan Hadist. 


Tentunya, perkembangan–perkembangan tersebut tidak boleh berhenti sampai di situ saja. Kita sebagai insan akademis dituntut untuk tidak puas dengan apa yang telah dikembangkan oleh para ulama tersebut. Pembaharuan dan reformasi harus berjalan terus. Buku-buku turast yang telah ditulis oleh para pendahulu kita, tidak boleh kita pandang sebagai kitab suci yang tidak meninggalkan satu celah sedikitpun. Sehingga kita mengagung-agungkan dan mendewakan di luar batas kewajaran serta tidak mau keluar dari apa yang telah ditulis oleh para pendahulu tersebut. Begitu juga sebaliknya, kita tidak boleh terlalu meremehkan turats-turast tersebut, dengan berdalih sebuah slogan yang berbunyi "Haulai rijal wa nahnu rijal", (Mereka adalah para tokoh, kita pun para tokoh pada zaman ini). 


Posisi yang paling tepat adalah pada posisi pertengahan, artinya kita menghormati buku-buku turast tersebut, tetapi dalam satu waktu, kita harus kritis terhadap apa yang ditulis di dalamnya. Kritis dalam artian meninjau ulang kembali metodologi dan sistematis penulisan, kesesuaian materi dengan kondisi saat ini, pengembangan pada contoh–contoh materi, memaksimalkan peran ushul fiqih di dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi umat manusia pada abad ini, dan seterusnya. 


Sebab-sebab itulah yang menuntut adanya pembaharuan ushul fiqh. Yaitu dengan membungkus kajian ushul fiqh dengan bingkai dan metodologi yang memihak kepada maslahat kehidupan manusia. 


Kalau kita perhatikan, ternyata para ulama pendahulu kita, juga bersikap kritis terhadap karya-karya sebelumnya. Kita dapatkan umpamanya Imam Abu Mudhaffar al-Sam’ani yang meninggal tahun 489 H menulis di dalam bukunya "Qawati’ al Adilah" : 


"Sepanjang hari saya meneliti karya-karya para ulama dalam bidang ushul fiqh ini, ternyata saya mendapatkan mayoritas dari mereka telah puas dengan menulis ilmu kalam dan untaian kata yang indah, sehingga tidak bisa menyentuh hakikat ushul fiqih yang sesuai dengan kebutuhan fiqh itu sendiri. Dan saya mendapatkan sebagian dari mereka terlalu bertele-tele, sehingga sering keluar dari metodologi para ahli Fiqh dalam banyak masalah, dan cenderung untuk memilih metodologi para ahli kalam yang sebenarnya tidak punya kepentingan dengan Fiqh dan masalah sekitarnya … ” 


Hal yang senada juga ditulis oleh Imam Syatibi di dalam "Muwafaqat" (1/ 42) : 

"Setiap masalah yang tertulis di dalam ushul fiqh dan tidak bisa dijadikan sandaran di dalam masalah-masalah fiqh atau adab-adab Islam, atau tidak bisa menopang keduanya, maka penyebutannya di dalam ushul fiqh hanya sia-sia belaka.” 


Dalam buku yang sama (1/ 46) beliau juga menulis : 

"Setiap masalah yang tidak bisa dijadikan dasar untuk beramal, maka menekuninya adalah sebuah perbuatan yang tidak ada dasarnya di dalam Syari’ah. Dan yang saya maksud beramal di sini adalah amal perbuatan hati dan anggota badan.” 


Begitu juga apa yang pernah disinggung oleh Al Isnawi (772 H) bahwa sebagian masalah yang berhubungan dengan bahasa, sebenarnya kurang tepat jika diletakkan pada pembahasan ushul fiqh, bahkan permasalahan tersebut hanya akan menambah ruwet pembahasan di dalam ilmu ushul fiqh. Ibnu Rusyd (595 H) di dalam "Muhtasar Mustasfa" juga mengungkapkan hal sama. 


Prof . Dr. Ali Jum’ah -Mufti Mesir– yang konsen dalam ilmu Ushul Fiqh pernah mengkritisi beberapa permasalahan yang muncul di dalam Ilmu Ushul Fiqh, beliau menulis dalam bukunya (Aliyat Al Ijtihad) :

"Sesungguhnya sangat aneh sekali, kita dapatkan seorang yang menguasai ushul fiqh dan fiqh secara bersamaan, akan tetapi ternyata dia hanya menguasai ushul fiqh dalam pengajaran saja, tidak lebih dari itu, dan hanya mengetahui fiqh dalam ruang lingkup materi pelajaran saja, tidak lebih dari itu… Sesungguhnya kebanyakan buku-buku ushul fiqh telah membawa kita menjauhi dari fungsi ushul fiqh itu sendiri, dan mendorong kita untuk menjadikannya sebagai tujuan dari materi pelajaran itu sendiri, hanya akan menambah gelar bagi yang mengajar ushul fiqh sebagai ulama ushul”.


Beliau juga menyatakan bahwa : 

"Kita terus belajar sehingga menyelesaikan semua pembahasan di dalam ushul fiqh, bahkan di antara kita ada yang hafal matan…akan tetapi kita tidak mengetahui cara mengambil manfaat darinya, menggunakan dalil dan maksud dari dalil tersebut.” 


Dari keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa ilmu Ushul Fiqh ini benar-benar memerlukan pembaharuan dan revisi. Di antara masalah yang perlu kaji ulang dan revisi adalah sebagai berikut : 


1. Penyederhanaan bahasa, terutama di dalam membuat defenisi. 

2. Tidak terlalu membesarkan masalah yang diperselisihkan para ulama. 

3. Membuang masalah-masalah yang tidak ada kaitannya dengan ushul fiqh, seperti beberapa masalah tentang bahasa, ilmu kalam, filsafat , mustholah hadits, kode etik perdebatan dan lain-lainnya. 

4. Mengaplikasikan setiap masalah yang dibahas dengan contoh-contoh konkrit yang dibutuhkan di masyarakat . 

5. Berusaha menggunakannya untuk memahami Al Qur’an dan Al Hadist yang merupakan tujuan utama dari ilmu ushul fiqh itu sendiri. 

No comments:

Post a Comment