Friday, November 30, 2012

Hubungan Perdata Anak di Luar Perkawinan dengan Ayah Biologisnya Pasca-Putusan MK



Secara singkat, Mahkamah Konstitusi (“MK”) melalui putusan No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 memutus bahwa Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) bertentangan dengan UUD 1945 bila tidak dibaca:

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Tujuan dari MK adalah untuk menegaskan bahwa anak di luar perkawinan pun berhak mendapat perlindungan hukum. Menurut pertimbangan MK, hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan.



Penting untuk dicatat bahwa putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tidak menyebut soal akta kelahiran anak luar kawin maupun akibat hukum putusan tersebut terhadap akta kelahiran anak luar kawin. Implikasi putusan MK ini berkaitan dengan status hukum dan pembuktian asal usul anak luar kawin. Hubungannya dengan akta kelahiran adalah karena pembuktian asal-usul anak hanya dapat dilakukan dengan akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU Perkawinan. 


Mengenai konsekuensi hukum dengan dikeluarkannya suatu akta kelahiran terhadap anak luar kawin ialah di dalam akta kelahiran anak tersebut hanya tercantum nama ibunya. Karena pada saat pembuatan akta kelahiran, status sang anak masih sebagai anak di luar perkawinan yang hanya diakui memiliki hubungan darah dan hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja.


Dalam akta kelahiran anak di luar perkawinan tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak dengan tercantum nama, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu (menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama ayah si anak). Demikian ketentuan Pasal 55 ayat (2) huruf a PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.


Dengan adanya putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, hubungan antara anak luar kawin dengan bapaknya adalah hubungan darah dalam arti biologis yang dikukuhkan berdasarkan proses hukum. Putusan MK membuka kemungkinan hukum bagi ditemukannya subyek hukum yang harus bertanggungjawab terhadap anak luar kawin untuk bertindak sebagai bapaknya melalui mekanisme hukum dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dan/atau hukum.


Dengan kata lain, setidaknya ada dua cara untuk dapat menjadikan sang anak luar kawin memiliki hubungan darah dan juga hubungan perdata dengan ayah biologisnya dan keluarga ayahnya, yaitu;

1.pengakuan oleh sang ayah biologis; atau

2. pengesahan oleh sang ayah biologis terhadap anak luar kawin tersebut.


Putusan MK hanya menguatkan kedudukan ibu dari si anak luar kawin dalam memintakan pengakuan terhadap ayah biologis dari si anak luar kawin tersebut, apabila si ayah tidak mau melakukan pengakuan secara sukarela terhadap anak luar kawin. Dengan diakuinya anak luar kawin oleh ayah biologisnya, maka pada saat itulah timbul hubungan perdata dengan si ayah biologis dan keluarga ayahnya. Dengan demikian, setelah adanya proses pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut, maka anak luar kawin tersebut terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dengan ayahnya sebagaimana diatur Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) yang berbunyi:

Dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya.

Dalam hal ini, penting untuk dicatat bahwa anak yang dilahirkan karena perzinaan atau penodaan darah (incest, sumbang) tidak boleh diakui. Hal ini diatur dalam Pasal 283 KUHPer.



Dasar hukum:
1.Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2.Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
3. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012.



No comments:

Post a Comment