Friday, November 9, 2012

UU Perkawinan Belum Menjamin Tujuan Perkawinan


Hingga detik ini, mungkin kita bertanya-tanya: kenapa menikahi janda selalu lebih heboh dibanding dengan menikahi duda? Kenapa bagi wanita yang mau menikah sering ada syarat harus ‘virgin’ sedangkan cowok tidak terlalu dipermasalahkan? Kenapa kasus hamil di luar nikah yang disalahkan selalu cewek, sedangkan cowok yang menghamili tidak terlalu ditekan?


Pertanyaan yang lebih serius lagi: mengapa masih muncul anggapan bahwa yang bertugas memasak dan mencuci adalah isteri walaupun suami-isteri sama-sama bekerja? Mengapa kasus perceraian lebih banyak dimulai dari proses cerai gugat dibanding cerai talak? Mengapa kasus kekerasan dalam rumah tangga kerap terdengar media? Mengapa eksploitasi dan pelanggaran hak terhadap isteri dan anak bahkan terkadang terhadap suami menjadi sebab utama terjadinya perceraian atau rusaknya sebuah rumah tangga? Apakah memang manusia Indonesia yang terlalu lemah menghadapi masalah dan mengolah konflik sehingga masalah yang muncul tidak dapat diselesaikan? Atau wanita belum mendapatkan tempat di dalam keluarga? Atau mindset kita yang sudah terlanjur ‘patriarki’? Atau ada yang salah dengan hukum dan perundang-undangan yang ada sekarang sehingga apapun masalah yang timbul tetap tidak akan terselesaikan dan tetap tak ada jaminan hukum? 


Disahkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memang menjadi angin segar dan oase di tengah gurun protes beberapa organisasi besar terhadap pemerintah. Aktivis perempuan Indonesia khususnya kalangan muslim yang merasa hak-haknya terkebiri oleh pemahaman konvensional tentang peran dan kedudukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat serta pemahaman fiqih klasik yang cenderung patriarkis. Reaksi atas keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat muslim seperti perkawinan di bawah umur, kawin paksa, talak serampangan[1] dan sebagainya, mendapatkan tanggapan positif dari pemegang kebijakan pada waktu itu dengan lahirnya undang-undang tersebut. Undang-undang tersebut juga menjadi pengganti dan penyempurna dari perundang-undangan tentang perkawinan yang ada sebelumnya. 


Sudah hampir empat puluh tahun UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia termasuk umat muslim. Hanya ada beberapa perundang-undangan dan peraturan yang dikeluarkan setelah undang-undang tersebut, sebut saja UU No. 10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang kompilasi hukum islam, yang kesemuanya hanya merupakan catatan kaki dan pelengkap dari UU No. 1 Tahun 1974. 


Jika UU No. 1 Tahun 1974 ditelaah pasal demi pasal, kita akan menemukan beberapa pasal yang harus disoroti dan perlu mendapat perhatian kaitannya dengan jaminan terhadap semua unsur yang berkaitan dengan perkawinan dan keluarga, jika dikontekstualisasikan dan dilihat relevansinya dengan isu-isu gobal yang beredar dan kebutuhan umat muslim akan peraturan yang mengakomodasi dan tidak mengekang kebutuhan umat. 


Pasal 3 ayat 2 yang membolehkan poligami. Pasal 43 ayat 1 tentang status anak di luar perkawinan (Mahkamah Konstitusi telah merevisi pasal ini, tetapi tidak ada peraturan lanjutan dan turunan pasal sebagai akibat langsung dari revisi tersebut). Pasal 11 yang mengatur iddah bagi perempuan tetapi tidak ada iddah bagi laki-laki. Pasal 34 yang menjelaskan bahwa urusan rumah tangga sepenuhnya urusan isteri. Pasal 2 ayat 1 dan 2 mengisyaratkan ketidakjelasan boleh tidaknya perkawinan beda agama dan pencatatannya (padahal kenyataannya perkawinan beda agama marak terjadi sekalipun secara sembunyi-sembunyi dan memanipulasi perundang-undangan dan hukum yang ada). Beberapa contoh pasal di atas merupakan bukti adanya ketidakadilan dalam urusan perkawinan. Dengan adanya ketidakadilan ini serta tidak adanya perundang-undangan lain yang mengatur, maka patut kiranya jika kita mempertanyakan apakah perundang-undangan perkawinan khususnya UU No. 1 Tahun 1974 menjamin semua unsur dalam perkawinan. 


Tujuan perkawinan disebutkan dalam pasal 1 bersama dengan definisi perkawinan, kemudian dijelaskan lebih banyak pada penjelasan undang-undang tersebut. Kelemahan dari UU No. 1 Tahun 1974 ini tidak ada bab yang memuat pasal-pasal sanksi atau ketentuan pidana sebagaimana undang-undang lain. Memang UU No. 1 Tahun 1974 adalah undang-undang tentang perkawinan yang sepenuhnya masalah perdata, tetapi apabila undang-undang tersebut dilanggar sedangkan sanksinya sangat ringan, tidak ada sama sekali, atau harus didukung oleh undang-undang lain untuk menghukum pelanggar (seperti dalam kasus perkawinan di bawah umur yang pelanggarnya tidak bisa dipidana kecuali dengan menggunakan UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak) maka apakah undang-undang tersebut bisa dikatakan menjamin tujuan perkawinan? 


Nash (al-Qur’an dan Sunnah) serta hukum turunannya (fiqh) sendiri mengatur secara detail semua yang berkaitan dengan perkawinan: sebelum, saat/proses berlangsungnya dan setelah perkawinan bahkan ketika menjalani bahtera rumah tangga serta segala konsekuensi-konsekuensinya. 


Membahas tujuan perkawinan di kalangan umat muslim dan jaminan yang diberikan perundang-undangan perkawinan berarti kita dihadapkan pada keharusan untuk mengetahui apa tujuan-tujuan dalam pernikahan, apa saja motivasi orang-orang ketika ingin merajut tali perkawinan, apa tujuan syari’ menganjurkan perkawinan dan apa tujuan/illat yang terkandung di dalamnya. 


Perundang-undangan Perkawinan 

Untuk membahas perundang-undangan perkawinan, maka harus diketahui terlebih dahulu apa saja yang termasuk dalam perundang-undangan perkawinan atau keluarga. Dalam UU No. 11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: 

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 

3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; 

4. Peraturan Pemerintah; 

5. Peraturan Presiden; 

6. Peraturan Daerah Provinsi; dan 

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.[4]

Jenis Peraturan Perundang-undangan selain peraturan di atas adalah peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.[5]


Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dasar hukumnya adalah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tidak termasuk dalam perundang-undangan perkawinan yang dimaksud karena tidak mempunyai kekuatan hukum. 


Sangat sulit melacak apa saja perundang-undangan perkawinan, dari hasil googling di internet, saya menemukan beberapa perundang-undangan perkawinan, yakni: 

1. Undang-undang Dasar 1945, yakni Bab XA Pasal 28B: (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 

2. Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura 

3. Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya UU No. 22 Tahun 1946. 

4. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 

5. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 

6. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil 

7. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta yang Diterbitkan oleh Negara Lain 

8. Keputusan Menteri Agama No. 477 Tahun 2004 tentang Pencatatan Nikah 



Konsep Nash tentang Tujuan Perkawinan 

Nash adalah teks al-Qur’an dan Sunnah. Nash menyebutkan beberapa tujuan dari perkawinan, di antaranya: 

1. Mendapatkan keturunan dan anak[6]

“Dan Dia (Allah) telah menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu, anak-anak dan cucu-cucu?. (An-Nahl:72). 

“Nikahkan oleh kalian perempuan-perempuan yang pecinta dan peranak, maka sungguh aku berbangga dengan banyaknya kalian dari para Nabi di hari kiamat?” (H.R. Anas) 

2. Menjalankan perintah Syari’: 

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.“ (An-Nur:32) 

3. Membentuk keluarga yang mawaddah dan rahmah: 
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
(Ar-Rum:21) 



Konsep Fiqh Munakahat tentang Tujuan Perkawinan 

Konsep fiqh munakahat tentang tujuan perkawinan tidak berbeda dengan konsep nash, karena tujuan perkawinan bukan masalah praktis dan dinamis yang dapat berubah sewaktu-waktu. 


Tujuan perkawinan selalu sama dari jaman Nabi sampai sekarang. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan di antara ulama mengenai tujuan perkawinan karena Al-Qur’an dan Sunnah telah menyebutkan dengan jelas. Tujuan perkawinan dalam fiqh munakahat antara lain: memenuhi kebutuhan alamiah manusia[7], mewujudkan suatu keluarga dengan cinta kasih, memperoleh keturunan yang sah, menjaga manusia dari kejahatan dan kerusakan, memperbesar rasa tanggungjawab.[8]


Karena KHI (Kompilasi Hukum Islam) tidak masuk dalam perundang-undangan perkawinan dan tujuan adanya KHI adalah memberikan pegangan bagi para hakim pengadilan agama, maka saya memasukkannya dalam kategori fiqh munakahat Indonesia. Adapun tujuan perkawinan dalam KHI disebutkan dalam Bab II Pasal 3, yakni mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. 



Subtansi, Musabbab, dan Hikmah Perkawinan dalam Nash 

Yang dimaksud dengan substansi adalah inti utama dari sesuatu atau hakikat. [9] Sedangkan musabbab (akibat) adalah sesuatu yang muncul karena adanya sebab. Akibat ada jika ada hukum yang ditimbulkannya.[10] Sedangkan hikmah adalah hasil yang mungkin diperoleh dari pelaksanaan hukum.[11] Dari ketiga pengertian ini, maka saya menyimpulkan ada persamaan antara substansi, musabbab dan hikmah. Sedangkan illat atau sabab adalah sesuatu yang oleh syara’ dijadikan penanda atas suatu hukum syariah, sekiranya jika ada sesuatu itu maka hukum ada dan jika sesuatu itu tidak ada maka hukum juga tidak ada.[12] Dengan demikian, illat atau sabab yang dimaksud di sini adalah perkawinan itu sendiri, jika perkawinan dilaksanakan maka akan timbul konsekuensi-konsekuensinya (musabbab atau hikmahnya). 


Substansi, musabbab dan hikmah dari perkawinan sudah ada penjelasannya dalam nash, yakni: 

1. Mencegah tersebarnya perzinahan dan penyakit menular: 

“Wahai kaum Muhajirin, ada lima perkara, jika telah menimpa kalian, maka tidak ada kebaikan lagi bagi kalian. Dan aku berlindung kepada Allah, semoga kalian terhindar darinya. Lima perkara itu ialah (1) Tidak merajalela praktek perzinaan pada suatu kaum sampai mereka berani berterus-terang melakukannya, melainkan akan terjangkit penyakit menular dengan cepat, dan mereka akan ditimpa penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa umat-umat yang lalu…..“(H.R. Ibnu Majah)[13]


2. Menjaga kemaluan, menundukkan pandangan, dan memelihara kehormatan wanita: 

“Wahai para pemuda! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum, karena shaum itu dapat membentengi dirinya.“ (H.R. Bukhari-Muslim)[14]


3. Menjaga diri dari yang haram[15]

“Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian yang mampu maka nikahlah, karena sesungguhnya itu dapat menundukan pandangan dan memelihara kemaluan, maka barang siapa yang tidak mampu hendaknya dia berpuasa, karena sesungguhnya itu benteng baginya? (H.R. Bukhari-Muslim) 


4. Meredam syahwat dan menyalurkannya pada sesuatu yang halal: 

“Dan hubungan badan diantara kalian adalah shadaqah.“ Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah mengapa seseorang yang menyalurkan syahwatnya mendapatkan pahala?” Beliau bersabda, “Tidakkah kalian ketahui, jika ia menyalurkannya pada sesuatu yang haram, maka ia akan mendapatkan dosa? Adapun jika ia menyalurkanya pada yang sesuatu yang halal, maka ia akan mendapatkan pahala”. 



Konsep Perundang-undangan Perkawinan Indonesia tentang Tujuan Perkawinan 

Disahkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan kemajuan yang sangat besar bagi perkembangan hukum perkawinan di Indonesia, karena tidak ada perundang-undangan sebelumnya yang mengatur perkawinan secara khusus. Perjuangan para aktivis dan ulama mulai tahun 1928 yang dimulai dengan Kongres Wanita Indonesia dan pertemuan-pertemuan yang dilakukan organisasi-organisasi Islam yang menilai keburukan dalam perkawinan Islam hingga akhirnya disahkan pada tahun 1974 kemudian disahkan keberlakuannya pada tahun 1975 (46-47 tahun perjuangan).[16]


Karena tidak ada perundang-undangan lain yang menjelaskan tujuan perkawinan selain UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka menurut undang-undang tersebut, tujuan perkawinan adalah: membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[17]


Dalam penjelasan pasal tersebut, dijelaskan bahwa membentuk keluarga yang bahagia sangat erat kaitannya dengan keturunan yang juga menjadi tujuan perkawinan. Pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua. 



Hal-hal yang Harus Dilakukan Demi Tercapainya Tujuan Perkawinan. 

Mengenai tujuan perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974, C.S.T Cansil menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan perkawinan itu maka suami-isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya mencapai kesejahteraan spiritual dan material.[18]


Sosiologi memandang tujuan perkawinan sebagai fungsi keluarga. Jika fungsi keluarga tercapai maka tujuan perkawinan akan tercapai. Ada tujuh fungsi keluarga menurut tinjauan sosiologi, yakni:[19]

1. Pengatur keturunan 

Meskipun sebagian masyarakat tidak membatasi kehidupan seks di dalam perkawinan saja, tetapi semua orang setuju bahwa keluarga akan menjamin reproduksi. Karena fungsi reproduksi ini merupakan hakikat kelangsungan hidup dan dasar kehidupan sosial manusia. Fungsi ini didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sosial, misalnya melanjutkan keturunan, dapat mewariskan harta kekayaan, serta pemeliharaan pada hari tuanya. 


2. Sosialisasi atau pendidikan 

Yakni untuk mendidik anak mulai dari awal sampai pertumbuhan anak hingga terbentuk personalitinya. Anak-anak lahir tanpa bekal sosial, agar si anak dapat berpartisipasi maka harus disosialisasikan oleh orang tuanya tentang nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. 

Dengan demikian, keluarga adalah perantara antara masyarakat luas dan individu. Kepribadian seseorang ditanamkan pada waktu muda dan sangat berpengaruh besar pada kepribadiannya adalah keluarga, terutama ibu. 

3. Ekonomi atau unit produksi 

Urusan-urusan pokok untuk menjalani kehidupan dilaksanakan keluarga sebagai unit produksi dengan pembagian kerja di antara anggota keluarga. Jadi, keluarga adalah unit yang terkoordinir dalam produksi ekonomi di mana semua anggota keluarga terlibat dalam kegiatan pekerjaan. Dengan adanya fungsi ekonomi maka hubungan antar anggota keluarga tidak hanya untuk melanjutkan keturunan, tetapi sebagai sebuah sistem hubungan kerja. 

4. Pelindung 

Yakni untuk melindungi seluruh anggota keluarga dari berbagai bahaya yang dialami oleh satu keluarga. Dengan adanya negara, maka fungsi ini banyak diambil alih oleh instansi negara. 

5. Penentuan status 

Jika dalam sebuah masyarakat ada perbedaan status, maka keluarga akan mewariskan statusnya pada tiap-tiap anggota keluarganya, baik status itu didapat melalui perkawinan (seperti kawin dengan anak orang berdarah biru dsb) atau melalui kepercayaan masyarakat (seperti digelari sesepuh, kepala adat dsb). 

6. Pemeliharaan 

Keluarga berkewajiban memelihara anggotanya yang sakit, menderita dan tua. Fungsi ini berbeda-beda pada setiap masyarakat. Seiring dengan modernisasi, sebagian dari fungsi pemeliharaan ini mulai banyak diambil alih dan dilayani oleh lembaga masyarakat, seperti rumah sakit dan panti jompo. 

7. Afeksi 

Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan kasih sayang dan rasa dicintai. Sejumlah penelitian menujukkan bahwa kenakalan yang serius adalah salah satu ciri khas anak yang tidak pernah mendapat perhatian dan kasih sayang. Selain itu, tidak adanya afeksi juga akan mengurangi kemampuan bayi untuk bertahan hidup. 



Perundang-undangan Perkawinan, Apakah Menjamin Tercapainya Tujuan Perkawinan? 

Yang dimaksud perundang-undangan perkawinan adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, karena perundang-undangan lain hanya mengatur hal-hal praktis tertentu. Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak pula bisa dimasukkan ke dalamnya karena dasar hukumnya yang berupa Instruksi Presiden tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. KHI diposisikan sebagai pedoman hakim dalam membuat keputusan atau diposisikan sebagai fiqh munakahat Indonesia. 


Dari penjelasan mengenai tujuan perkawinan menurut nash-fiqh munakahat dan UU No. 1 Tahun 1974 di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara nash dan UU No. 1 Tahun 1974. Hanya saja penyebutan tujuan perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak sebanyak penyebutan dalam nash karena ketika diberlakukan, maka UU No. 1 Tahun 1974 tidak hanya berlaku bagi umat Islam, tetapi juga bagi umat lain yang berstatus warga negara Indonesia, sedangkan nash hanya berlaku bagi umat Islam saja. Tujuan perkawinan menurut nash-fiqh munakahat yakni (1) mendapatkan keturunan dan anak (2) menjalankah perintah syari‘ (3) membentuk keluarga yang mawaddah dan rahmah (4) memenuhi kebutuhan alamiah manusia, sudah terangkum dalam tujuan perkawinan dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974. 


Akan tetapi, untuk melihat apakah UU No. 1 Tahun 1974 menjamin tercapainya tujuan perkawinan, maka kita harus melihat undang-undang tersebut secara keseluruhan, pasal demi pasal. Ada tujuh fungsi keluarga yang bisa mengantarkan kepada tercapainya tujuan perkawinan sebagaimana dijelaskan pada BAB II di atas. Jika kita melihat UU No. 1 Tahun 1974, maka ada beberapa dari tujuh hal di atas yang tercapai, yakni fungsi pengatur keturunan, fungsi penentuan status, fungsi afeksi, dan fungsi pemeliharaan. Akan tetapi untuk fungsi sosialisasi atau pendidikan, fungsi ekonomi atau unit produksi, dan fungsi pelindung masih dipertanyakan. 


Untuk fungsi sosialisasi dan ekonomi atau unit produksi, tidak ada pasal yang mengatur hak isteri dalam bersosialisasi, bekerja di luar rumah dan hak untuk berpendapat. Untuk fungsi pelindung, pasal 34 ayat 1, 2, dan 3 menunjukkan tidak seimbangnya fungsi perlindungan dan kedudukan suami dan isteri dalam keluarga. 


Selain itu, ada beberapa pasal yang dinilai diskriminasi dan tidak adil sehingga mempengaruhi tujuan perkawinan secara umum. Di antaranya Pasal 11 yang mengatur iddah bagi perempuan tetapi tidak ada iddah bagi laki-laki. Pasal 34 yang menjelaskan bahwa urusan rumah tangga sepenuhnya urusan isteri. Pasal 2 ayat 1 dan 2 mengisyaratkan ketidakjelasan boleh tidaknya perkawinan beda agama dan pencatatannya (padahal kenyataannya perkawinan beda agama marak terjadi sekalipun secara sembunyi-sembunyi dan memanipulasi perundang-undangan dan hukum yang ada). Pasal 39 ayat 2 Huruf F yang mengisyaratkan laki-laki lebih berkuasa dalam memutuskan tali perkawinan secara sepihak. 

Dengan adanya beberapa fungsi keluarga yang tidak diakomodasi oleh UU No. 1 Tahun 1974, adanya pasal-pasal kontroversial, dan ditambah dengan tidak adanya ketentuan sanksi atau sanksi yang ringan bagi pelanggarnya, maka patut kiranya jika kita menilai bahwa perundang-undangan perkawinan khususnya UU No. 1 Tahun 1974 belum menjamin tercapainya tujuan perkawinan. 



Kontekstualisasi Perundang-undangan Perkawinan 

Di sini saya akan menggunakan tiga teori untuk proses kontekstualisasi perundang-undangan perkawinan, yakni: 

1. Teori Sosialisasi 

Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu. 

Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal.[20]

Berdasarkan teori sosialisasi, kita dapat melihat bahwa dalam kurun waktu hampir empat puluh tahun berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 (1975-2012), nilai-nilai dalam masyarakat sudah berubah. Misalnya di pedesaan umumnya seorang suami menjadi kepala keluarga, namun karena perkembangan zaman dan adanya perubahan sosial budaya menjadikan adanya perubahan peranan dalam keluarga tersebut yaitu istri yang lebih tegas dan mampu menguasai, mengatur segala hal dari pada suaminya. Ketidaksepahaman mengenai peran ini mengakibatkan banyak orang gagal dalam menjalankan peran mereka, karena standar lama sudah berubah dengan standar baru. Keseimbangan peran ini yang masih belum kita temukan dalam UU No. 1 Tahun 1974.


2. Teori Maqasid al-Syari‘ah 

Syari’ah adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan agama, baik berupa ibadah atau mu’amalah, yang dapat menggerakkan kehidupan manusia. Maqasid al-syariah (maksud-maksud syari’ah) adalah tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan dan mubah, baik untuk individu, keluarga, maupun umat. Maqasid juga bisa disebut dengan hikmah (hikam) yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum. Karena setiap hukum yang disyari’atkan Allah, pasti terdapat hikmah.[21]Ada yang dlaruriyyat, hajjiyat, dan tahsiniyat. Dlaruriyyat meliputi menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga harta, dan menjaga akal. 

Dengan teori maqasid al-syari’ah, kita mengetahui beberapa maksud, tujuan, atau hikmah perkawinan, yakni: (1) mencegah tersebarnya perzinahan dan penyakit menular, (2) menjaga kemaluan, menundukkan pandangan, dan memelihara kehormatan wanita (3) menjaga diri dari yang haram, (4) meredam syahwat dan menyalurkannya pada sesuatu yang halal. Kemudian apakah UU No. 1 Tahun 1974 mengakomodasi beberapa tujuan tersebut? UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang perzinahan, sehingga bisa dikatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 masih jauh dari kata sempurna.


3. Teori Keadilan 

Menurut Aristoteles, keadilan dipahami dalam pengertian kesamaan, antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dia juga membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana.[22]

Teori keadilan dalam Islam pertama kali didiskusikan sebagai persoalan teologi tentang keadilan ilahiyah yang melahirkan dua mazhab yaitu: mu`tazilah dan asy`ariyah. Teori keadilan juga menjadi landasan utama dalam filsafat hukum Islam, khususnya dalam pembahasan maqasid al-syariah yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari'atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Teori maslahat di sini sama dengan teori keadilan sosial dalam istilah filsafat hukum. Teori ini pertama kali dikenalkan oleh Imam al-Juwaini lalu dikembangkan oleh muridnya, Imam al-Gazali.[23]


Dengan teori keadilan, kita dapat menerapkan nilai-nilai keadilan berdasarkan perubahan nilai dalam masyarakat terhadap UU No. 1 Tahun 1974, sehingga dapat mengakomodasi segala bentuk perubahan yang terjadi di masyarakat yang mengharuskan undang-undang tersebut diamandemen. 


4. Teori Kebutuhan 

Ada banyak teori kebutuhan yang diusung oleh berbagai tokoh. Dalam paper ini, penulis akan menggunakan teori kebutuhan Maslow (Abraham Maslow: 1908-1970). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut : (1) Kebutuhan fisiologis atau dasar (2) Kebutuhan akan rasa aman (3) Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi (4) Kebutuhan untuk dihargai (5) Kebutuhan untuk aktualisasi diri.[24]

Penulis secara lebih spesifik akan menjelaskan kebutuhan yang paling tinggi manusia: kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang terdapat 17 meta kebutuhan yang tidak tersusun secara hirarki, melainkan saling mengisi. Jika berbagai meta kebutuhan tidak terpenuhi maka akan terjadi meta patologi seperti apatisme, kebosanan, putus asa, tidak punya rasa humor lagi, keterasingan, mementingkan diri sendiri, kehilangan selera dan sebagainya. Menurut Maslow, meta kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri terdiri dari: kebenaran, kebaikan, keindahan atau kecantikan, keseluruhan (kesatuan), dikotomi-transedensi, berkehidupan (berproses, berubah tetapi tetap pada esensinya), keunikan, kesempurnaan, keniscayaan, penyelesaian, keadilan, keteraturan, kesederhanaan, kekayaan (banyak variasi, majemuk, tidak ada yang tersembunyi, semua sama penting), tanpa susah payah (santai, tidak tegang), bermain (fun, rekreasi, humor), dan mencukupi diri sendiri. Jika berbagai meta kebutuhan tidak terpenuhi maka akan terjadi meta patologi seperti:apatisme, kebosanan, putus asa, tidak punya rasa humor lagi, keterasingan, mementingkan diri sendiri, kehilangan selera dan sebagainya.[25]

Dengan teori kebutuhan Maslow, dapat dijelaskan bahwa kebutuhan yang paling tinggi adalah aktualisasi diri yang melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya. Hal ini sejalan dengan fungsi keluarag sebagaimana analisis di atas. Ada kebutuhan lain selain kebutuhan materi yang bahkan sering dilupakan, sehingga berbias pada peran perempuan dan isteri dalam keluarga. Teori ini juga mendukung penghapusan pasal-pasal diskriminatif dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 



5. Teori Gender 

Gender adalah peran yang dibentuk oleh masyarakat serta perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Ada perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki namun kebudayaan menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan dalam berperilaku, dan pada gilirannya hak-hak, sumber daya, dan kuasa. [26]

Feminisme adalah ruh gerakan perempuan yang mengusung gender ini. Feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Menurut definisi ini, seseorang yang mengenali adanya sexisme (diskriminasi atas dasar jenis kelamin), dominasi laki-laki, serta sistem patriarki dan melakukan suatu tindakan untuk menentangnya, maka dia adalah seorang feminis.[27] Menurut analisis feminisme, ketidakadilan gender muncul karena adanya kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan konsep seks, sekalipun kata gender dan seks secara bahasa memang mempunyai makna yang sama, yaitu jenis kelamin. Bagi para feminis, konsep seks adalah sifat yang kodrati (given), alami, dibawa sejak lahir dan tak bisa diubah-ubah. Konsep seks hanya berhubungan dengan jenis kelamindan fungsi-fungsi dari perbedaan jenis kelamin itu saja, seperti bahwa perempuan itu bisa hamil, melahirkan, menyusui, sementara laki-laki tidak. Sedangkan konsep gender menurut feminisme bukanlah sifat yang kodrati atau alami, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang telah berproses sepanjang sejarah manusia. Tokoh-tokoh gender di antaranya Fatimma Mernissi, Carol Gilligan, Qasim Amien (bapak feminisme Arab), Gloria Steinem, Betty Friedan, Mary Wollstonecraft, Simone de Beauvoir, dan Danielle Crittenden. Di Indoensia sendiri, antara lain Siti Musdah Muliya dan Gadis Arivia.[28]

Tidak diragukan lagi, teori gender dan semangat feminisme adalah motor penggerak adanya gerakan kesetaraan perempuan yang berkembang selama ini. Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 juga tidka lepas dari gerakan para pejuang perempuan yang diwakili oleh LSM dan organisasi perempuan pada saat itu. Dengan teori ini, penulis bisa membantah semua anggapan ­sex oriented yang ada dalam UU perkawinan. Pasal-pasal yang bias gender dan sex oriented tersebut harus diluruskan menjadi gender oriented. Hal ini sejalan dengan semangat para tokoh feminis Indonesia yang mengusung Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (KHI), di mana inti dari KHI tandingan tersebut adalah memperjuangkan hak perempaun, anak-anak dan kelompok minoritas yang selama ini tidak mendapat tempat dan peran yang seharusnya dalam kehidupan bermasyarakat, terutama dalam hukum positif. 


Kesimpulan 

Sebagai penutup, perlu dikemukakan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut: 

Pertama, ada beberapa perundang-undangan perkawinan, hanya saja UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan lebih komprehensif daripada perundang-undangan yang lain. Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak pula bisa dimasukkan ke dalamnya karena dasar hukumnya yang berupa Instruksi Presiden tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. KHI diposisikan sebagai pedoman hakim dalam membuat keputusan atau dianggap sebagai fiqh munakahat Indonesia. 

Kedua, undang-undang perkawinan khusunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menjadi jaminan tercapainya tujuan perkawainan karena beberapa alasan, yakni (1) tidak mengakomodasi beberapa fungsi keluarga yang menjadi sarana tercapainya tujuan perkawinan, yakni fungsi sosialisasi, fungsi ekonomi atau unit produksi, dan fungsi pelindung. (2) Ada beberapa pasal yang dinilai diskriminasi dan tidak adil sehingga mempengaruhi tujuan perkawinan secara umum. (3) Tidak adanya ketentuan sanksi atau sanksi yang ringan bagi yang melanggat ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU No. 1 Tahun 1974. 

Ketiga, perlunya kontekstualisasi perundang-undangan perkawinan dengan mempertimbangkan tiga teori, yakni teori sosialisasi, teori maqasid al-syari’ah, dan teori keadilan. Juga keharusan revisi/amandemen UU No. 1 Tahun 1974 karena banyak pasal-pasal di dalamnya yang diskriminatif dan tidak sejalan dengan perubahan nilai dalam masyarakat. 


Endnotes:

[1] Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 9 

[2] Noor Achmad, Istislah sebagai Metode Formulasi Hukum dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Disertasi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2006. 

[3] Ibid. 

[4] Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2011. 

[5] Pasal 8 UU No. 11 Tahun 2011. 

[6] Muhammad Ahmad Kan’an, Edisi Bahasa Indonesia “Tata Pergaulan Suami-Isteri” (Maktabah Al-Jihad: Yogyakarta, tt), hal. 10-40. 

[7] Imam Al-Ghazali, Menyingkap Rahasia Perkawinan (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), hal. 27-28. 

[8] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 2004), hal. 15. 

[9] KBBI online: http://bahasa.cs.ui.ac.id, diakses pada tanggal 01 Nopember 2012. 

[10] Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1994) hal. 57. 

[11] Mu’in Umar dkk, Ushul Fiqh (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985), hal. 123. 

[12] Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh...hal. 55. 

[13] Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah (Riyadh: Baitul Afkar al-Dauliyah, tt), hal. 432. 


[15] Ibid. 

[16] Menurut Khoiruddin Nasution, keburukan itu antara lain a. suami berhak menahan isteri untuk tetap di rumah; b. bahwa isteri wajib patuh kepada suami; c. bahwa suami berhak memberikan pelajaran kepada isteri; d. bahwa isteri wajib memenuhi kebutuhan seks suami. Lihat: Khoiruddin Nasution, Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I) Dilengkapi dengan Perbandingan UU Negara Muslim (Yogyakarta: Academia+Tazzafa, 2004), hal. 285. 

[17] Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 1 Permendagri No. 12 Tahun 2010. 

[18] C.S.T Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 225. Lihat juga penjelasan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 

[19] Suyanto J, Dwi Narwoko, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta: Kencana Media Group), hal. 214-217. 

[20] http://id.wikipedia.org/wiki/Sosialisasi. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2012. 

[21] Yusuf al-Qaradlawi, Fiqih Maqasid Syariah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), hal. 155. 

[22] Ahmad Zaenal Fanani, Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam, Makalah Program Doktor Ilmu Hukum UII yogyakarta, hal. 19-20. Sumber: www.badilag.net. 

[23] Ibid.


[24] http://id.wikipedia.org/wiki/Abraham_Maslow 

[25] Abraham Maslow, On Dominance, Self Esteen and Self Actualization. (Ann Kaplan: Maurice Basset), 2006, hal. 153-342. 

[26] Herien Puspitawati, Teori Gender dan Aplikasinya dalam Kehidupan Keluarga, (Bogor: Perpustakaan IKK IPB), 2009, Hal. 1. 

[27] Ibid. 

[28] Ibid, hal. 2. 



Bibliografi

Achmad, Noor, Istislah sebagai Metode Formulasi Hukum dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Disertasi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2006. 

Cansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989 

Fanani, Ahmad Zaenal, Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam, Makalah Program Doktor Ilmu Hukum UII yogyakarta, Sumber: www.badilag.net

Ghazali, Imam Al-, Menyingkap Rahasia Perkawinan, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004 

Kan’an, Muhammad Ahmad, Edisi Bahasa Indonesia “Tata Pergaulan Suami-Isteri” Maktabah Al-Jihad: Yogyakarta, tt 

Maslow, Abraham, On Dominance, Self Esteen and Self Actualization. (Ann Kaplan: Maurice Basset), 2006.

Nasution, Khoiruddin, Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I) Dilengkapi dengan Perbandingan UU Negara Muslim, Yogyakarta: Academia+Tazzafa, 2004 

Puspitawati, Herien, Teori Gender dan Aplikasinya dalam Kehidupan Keluarga, (Bogor: Perpustakaan IKK IPB), 2009.

Qaradlawi, Yusuf al-, Fiqih Maqasid Syariah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007 

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 2004 

Sosroatmodjo, Arso dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1978 

Suyanto, Dwi Narwoko, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana Media Group, 2004 

Umar, Mu’in dkk, Ushul Fiqh , Jakarta: Departemen Agama RI, 1985 

Yazid, Muhammad bin, Sunan Ibnu Majah, Riyadh: Baitul Afkar al-Dauliyah, tt 

Zaidan, Abdul Karim, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994 

UU No. 11 Tahun 2011 

UU No. 1 Tahun 1974 

Permendagri No. 12 Tahun 2010 

KBBI online: http://bahasa.cs.ui.ac.id, diakses pada tanggal 01 Nopember 2012 


http://id.wikipedia.org/wiki/Sosialisasi. Diakses pada tanggal 30 Oktober 2012. 


http://id.wikipedia.org/wiki/Abraham_Maslow 

No comments:

Post a Comment