Friday, November 30, 2012

Perbuatan Pidana dan Sengketa Perdata



Perbuatan Pidana

Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana dapat dikenai tuntutan pidana oleh negara. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dalam perundang-undangan dan diancam dengan pidana, disebut juga “delik”. Dalam bahasa perundang-undangan dikenal dengan istilah “tindak pidana”.


Bukan hanya korban yang berhak menuntut haknya, bahkan setiap orang yang mengetahui adanya dugaan telah terjadi perbuatanpidana wajib melaporkan pada penegak hukum. Penegak hukum adalah hakim, jaksa, polisi, dan advokat.


Dalam hukum pidana, orang yang diduga melakukan perbuatan pidana berhadapan dengan negara. Dalam persidangan, yang melakukan penuntutan adalah negara yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum.


Jadi jelas bila kita bicara penyelesaian secara pidana maka tujuannya adalah pemidanaan si pelaku (teori klasik) dan melindungi masyarakat dari kejahatan (teori modern). Delik (perbuatan pidana) dibedakan menjadi 2, yaitu delik umum dan delik aduan.


Delik umum adalah delik yang harus diproses tanpa adanya laporan ataupun pengaduan, misal pembunuhan. Pihak penyidik harus aktif dan berinisiatif dalam menyidik kasus delik umum. Dalam kasus delik umum, upaya perdamaian antara pelaku dan korban ataupun upaya-upaya non-litigasi lainnya tidak dapat menghentikan proses pidana.


Delik aduan adalah delik yang dipersyaratkan adanya aduan terlebih dahulu sebelum dilakukan penuntutan. Delik aduan dibedakan menjadi 3, yaitu delik aduan biasa (misal pemerasan dengan pencemaran, pasal 369 KUHP), delik aduan absolut (misal zina), dan delik aduan relatif (misal penggelapan oleh anggota keluarga, pasal 372 KUHP). Delik aduan relatif adalah delik umum tertentu yang pelakunya adalah anggota keluarga, maka menjadi delik aduan. Aduan bisa ditarik kembali. Dalam kasus delik aduan dimungkinkan upaya perdamaian.


Sengketa Perdata

Sengketa perdata timbul manakala ada salah satu pihak yang merasa dirugikan karena perbuatan pihak yang lain. Dengan berdasar pada pasal 1365 KUHPerdata, pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat menuntut ganti kerugian. Ganti kerugian dapat diusahakan melalui gugatan perdata. Jadi jelas bahwa bila kita bicara penyelesaian sengketa secara perdata maka tujuannya adalah ganti kerugian.


Gugatan perdata ada 2 (dua) macam, yaitu gugatan atas terjadinya perbuatan melawan hukum dan gugatan atas terjadinya wanprestasi.


Perbuatan Melawan Hukum

Perbuatan melawan hukum (onrechtrnatige daad) adalah setiap perbuatan (melakukan sesuatu, memberikan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu) yang melanggar hak subjektif orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum, bertentangan dengan tata susila atau bertentangan dengan kepatutan ketelitian yang harus dimiliki oleh seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. Orang yang karena kesalahannya menyebabkan timbulnya kerugian bagi orang lain sebagai akibat dari perbuatannya wajib membayar ganti rugi.



Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:

1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;

Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;

Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:

1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;

2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;

3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.


Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.


Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.


Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.


Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.


Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:

1) Surat perintah

Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”

2) Akta sejenis

Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.

3) Tersimpul dalam perikatan itu sendiri


Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.


Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.


Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.


Sanksi

Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu:

1) Membayar kerugian yang diderita kreditur;

2) Pembatalan perjanjian;

3) Peralihan resiko;

4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.


Ganti Kerugian

Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, schaden en interessen” (pasal 1243 dsl)


Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).


Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu:[8]

a) Conditio Sine qua Non (Von Buri)

Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa A

b) Adequated Veroorzaking (Von Kries)

Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).


Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan.

Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk membela dirinya, yaitu:

a) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach);

b) Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;

c) Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.


Keadaan Memaksa (overmach)

Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksanya prestasi bukan karena kesalahannya, diwajibkan membayar gantirugi. Sebaliknya debitur bebas dari kewajiban membayar gantirugi, jika debitur karena keadaan memaksa tidak memberi atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau telah melakukan perbuatan yang seharusnya ia tidak lakukan.


Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.


Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan berbagai akibat yaitu:

a) Kreditur tidak dapat lagi memintai pemenuhan prestasi;

b) Debitor tidak lagi dapat dinyatakan wanprestasi, dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi;

c) Resiko tidak beralih kepada debitor;

d) Kreditor tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal-balik.




No comments:

Post a Comment