Friday, November 30, 2012

Status Hukum Anak yang Lahir dari Perkawinan Beda Agama



Dalam hal perkawinan, Perkawinan sah menurut Pasal 2 UUP yang juga diatur dalam Pasal 10 ayat (2) PP No. 9/1975 disebutkan sebagai berikut :

1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Al-Quran surat Al-Baqarah (2): 221 seorang wanita muslim tidak diperbolehkan menikah dengan pria bukan muslim. Sehingga dapat disimpulkan bahwa baik secara hukum negara maupun hukum agama Islam, perkawinan antara seorang perempuan muslim dengan pria bukan muslim tidak dapat dilaksanakan. Selengkapnya mengenai perkawinan beda agama bisa disimak dalam interfaith marriage.


Namun, advokat Flora Dianti, S.H., M.H. dalam artikel jawabannya menjelaskan bahwa Mahkamah Agung (“MA”) dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar-agama adalah bahwa perkawinan antar-agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan perkawinan beda agama. Dalam proses perkawinan antar-agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar-agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil.


Dalam putusan No. 1400 K/Pdt/1986 tersebut, MA menyatakan bahwa dengan pengajuan pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil maka Andi Vonny Gani (perempuan/Islam) telah memilih untuk perkawinannya tidak dilangsungkan menurut agama Islam. Dengan demikian, Andi Vonny memilih untuk mengikuti agama suaminya Andrianus Petrus Hendrik Nelwan (laki-laki/Kristen), maka Kantor Catatan Sipil harus melangsungkan dan mencatatkan perkawinan tersebut.


Seperti diketahui dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 9/1975 diatur bahwa:

“Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.”


Adapun hal-hal yang harus dilakukan dalam pernikahan di catatan sipil sesuai dengan PP No. 9/1975 yaitu :

1. Memberitahukan rencana perkawinan kepada petugas pencatat baik secara tertulis maupun lisan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum dilaksanakan untuk dapat dilakukan penelitian atas syarat-syarat perkawinan.

2. Apabila hasil dari penelitian tersebut telah memenuhi syarat, maka akan diumumkan di papan pengumuman kantor setempat. Jika tidak, maka hal tersebut akan segera disampaikan kepada calon mempelai.

3. Setelah pengumuman, perkawinan dilaksanakan sesuai dengan tanggal yang telah ditentukan dan dicatat oleh pegawai pencatat, terbit akta pernikahan yang ditandatangani dan tercatatlah secara resmi perkawinan tersebut dan sah menurut hukum.


Kemudian mengenai kedudukan hukum anak yang lahir dari pasangan pernikahan beda agama ini, merujuk pada ketentuan Pasal 42 UUP yang menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Jadi, anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah yang dilakukan baik di Kantor Urusan Agama (untuk pasangan yang beragama Islam) maupun Kantor Catatan Sipil (untuk pasangan yang beragama selain Islam), maka kedudukan anak tersebut adalah anak yang sah di mata hukum dan memiliki hak dan kewajiban anak dan orang tua seperti tertuang dalam Pasal 45 s.d. Pasal 49 UUP.


Selain itu, orang tua yang berbeda agama juga perlu memperhatikan ketentuan Pasal 42 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UUPA”) yang berbunyi:

(1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.
(2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya.


Di dalam penjelasan Pasal 42 ayat (2) UUPA diterangkan bahwa anak dapat menentukan agama pilihannya apabila anak tersebut telah berakal dan bertanggung jawab, serta memenuhi syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan agama yang dipilihnya, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
3. Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan




No comments:

Post a Comment