Tuesday, November 27, 2012

Kesalahan dalam Akta Nikah Tidak Membatalkan Perkawinan



Pada dasarnya, dalam Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) dinyatakan bahwa syarat untuk sahnya suatu perkawinan harus berdasarkan hukum agama dan harus dilakukan pendaftaran perkawinan di lembaga pencatatan perkawinan setempat. Dengan dicatatkannya perkawinan, kemudian dikeluarkanlah kutipan akta nikah oleh pegawai pencatat perkawinan (baik dalam lingkungan Kantor Urusan Agama/KUA, bagi warga negara Indonesia beragam Islam, maupun dalam lingkungan Kantor Catatan Sipil/KCS, bagi warga negara selain beragama Islam).


Terkait dengan penerbitan kutipan akta nikah ini mungkin saja isinya tidak terhindar dari kesalahan, termasuk kesalahan redaksional. Namun, adanya kesalahan pada kutipan akta nikah, tidak menyebabkan perkawinan dapat dibatalkan.


Adapun yang menyebabkan suatu perkawinan dapat dibatalkan antara lain adalah apabila:

a. Para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (lihat Pasal 22 UUP). Mengenai syarat-syarat perkawinan ini diatur dalamPasal 6 UUP;

b. Salah satu pihak melangsungkan perkawinan padahal masih terikat perkawinan dengan pihak lain (lihat Pasal 24 UUP);

c. Perkawinan dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi (lihat Pasal 26 ayat [1] UUP);

d. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum (lihatPasal 27 ayat [1] UUP);

e. Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri (lihat Pasal 27 ayat [2] UUP).


Khusus bagi warga negara yang beragama Islam berlaku Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Mengenai batalnya perkawinan ini diatur dalam Pasal 69 KHI dan Pasal 71 s.d. Pasal 72 KHI diatur mengenai perkawinan yang dapat dibatalkan. Dan batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan (lihat Pasal 28 [1] UUP).


Bila tanggal pelaksanaan perkawinan yang tercantum dalam kutipan akta nikah tidak sesuai dengan yang sesungguhnya karena kesalahan redaksional, maka terhadap akta tersebut dapat dimintakan pembetulannya (lihat Pasal 71 ayat [1] UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan – UU Adminduk).


Seperti yang dikutip dari laman resmi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, terkait dengan kesalahan redaksional dalam kutipan akta nikah ini, dapat diajukan pembetulan kepada yang menerbitkan kutipan akta nikah tersebut (KUA bagi yang beragama Islam dan KCS bagi yang beragama selain Islam).


Dan mengenai apakah foto dapat menjadi alat bukti yang sah untuk membuktikan adanya perkawinan, tentunya pihak pencatat perkawinan (KUA dan KCS) yang akan menentukan. Akan tetapi, selain foto, dapat pula mengajukan saksi nikah, wali nikah dan bukti-bukti terkait lainnya untuk mendukung pembuktian adanya perkawinan.


Pembetulan kutipan akta nikah ini akan dilakukan oleh pejabat pencatatan sipil dengan tata cara (lihat Pasal 101 UU Adminduk):

a. mengisi dan menyerahkan formulir pembetulan akta pencatatan sipil dengan melampirkan dokumen di mana terdapat kesalahan tulis redaksional dan menunjukkan dokumen autentik yang menjadi persyaratan penerbitan pencatatan sipil;

b. Pejabat pencatatan sipil membuat akta pencatatan sipil baru untuk menggantikan akta pencatatan sipil dimana terdapat kesalahan tulis redaksional, dan menarik serta mencabut akta pencatatan sipil lama dari pemohon;

c. Pejabat pencatatan sipil membuat catatan pinggir pada register akta pencatatan sipil yang dicabut sebagaimana dimaksud pada huruf b mengenai alasan penggantian dan pencabutan akta pencatatan sipil.



Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan



No comments:

Post a Comment