Sunday, September 16, 2012

Apakah MK Berwenang Membuat Norma Hukum Baru?

Akhir-akhir ini MK sebagai lembaga baru sangat disorot dan sangat menarik. Apakah MK merupakan lembaga legislatif? Karena dalam Judicial Review UU Perkawinan mengenai kasus Machica Mochtar, di mana MK tidak hanya membatalkan atau mengabulkan gugatan tetapi juga seperti membuat norma hukum baru, dengan mengganti atau mengubah bunyi Pasal 43 UU Perkawinan, sedangkan yang saya tahu MK hanya dapat menilai apakah UU yang diuji sudah sesuai UUD atau tidak. 


Mahkamah Konstitusi (“MK”) merupakan lembaga negara yang diatur dalamUndang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”), serta UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 24/2003”) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 8/2011”). Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa:


“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”


Berdasarkan isi Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 tersebut, jelas dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman atau kekuasaan yudikatif (hal tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 2 UU 24/2003). Sedangkan, kekuasaan legislatif atau kekuasaan untuk membentuk undang-undang dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) dengan melibatkan Pemerintah untuk pembahasan rancangan undang-undang (lihat Pasal 20 ayat [1] dan ayat[2] UUD 1945).


MK memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk (Pasal 10 ayat [1] UU 24/2003):

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. memutus pembubaran partai politik; dan

d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.


Kemudian, mengenai putusan MK pada perkara permohonan pengujian UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) terhadap UUD 1945 yang diajukan Machica Mochtar, maka kita perlu membaca putusan tersebut secara utuh, yakni sebagai berikut:

- Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

- Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;

- Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”;

- Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

- Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Di dalam amar putusan MK tersebut, MK hanya menyatakan bahwa isi Pasal 43 ayat (1) UUP “harus dibaca” sebagaimana disebutkan dalam putusan tersebut dan bukan dengan mencabut pasal dan mengganti isi pasal dengan norma hukum baru. Hal ini juga tercermin dalam bagian pertimbanganhukum putusan MK tersebut, yang menyatakan antara lain:


Adapun Pasal 43 ayat (1) UUP yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.


Putusan MK dalam perkara tersebut masih dalam lingkup tugas dan kewenangan MK sesuai yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kewenangan MK salah satunya adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945, dan untuk pengujian tersebut didasarkan atas permohonan yang disampaikan kepada MK (lihat Pasal 1 angka 3 UU 8/2011).Hal ini juga pernah ditegaskan Jimly Asshiddiqiepada saat menjabat sebagai Ketua MK. Dia menyatakan bahwa posisi MK adalah sebagai negative legislator. Artinya, MK hanya bisa memutus sebuah norma dalam UU bertentangan konstitusi, tanpa boleh memasukan norma baru ke dalam UU.



No comments:

Post a Comment