Tuesday, September 25, 2012

Sejarah Pembaruan Hukum Keluarga di Dunia Islam


Oleh Saiful Bahri
Sebuah fakta yang tidak bisa ditolak jika hukum Islam pada umumnya menganut prinsip dinamis (at-Taghayyur). Hukum Islam berubah sesuai perubahan ruang, waktu, dan person di dalamnya. Sementara itu, Islam sendiri kita kenal sebagai agama yang universal. Universalitas Islam terletak pada kemampuannya menjawab problematika yang terjadi. Tujuan utama dari diturunkannya Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan bagi manusia.[1] Sebagai agama universal, Islam mengenal sistem perpaduan antara apa yang disebut konstan-nonadaptabel (tsabat), di satu sisi, dan elastis-adaptabel (murunah), di sisi yang lain.[2]

Dimensi Islam disebut konstan-nonadaptabel biasanya berada di wilayah persoalan-persolan ritus agama yang bersifat transenden. Sifatnya pun final-absolut tanpa menerima kritik dan perdebatan (ghairu qabilin li an-Naqdi wa an-Naqsyi). Sementara dimensi Islam yang bersifat elastis-adaptabel berada dalam wilayah praktis-historis. Dan posisi hukum keluarga sendiri berada dalam wilayah kedua, artinya, bisa menerima perubahan dan pembaruan dengan syarat tidak bergeser dari kerangka umum tujuan ajaran-ajaran agama (maqashid as-Syari’ah).[3]


Atas dasar itu kemudian, upaya pembaruan terhadap hukum keluarga banyak berlangsung. Menurut Musdah Mulia, usaha pembaruan hukum keluarga di dunia Islam pada zaman modern berjalan seiring dengan mencuatnya pemikiran Islam modern yang diusung para intelektual Muslim, seperti ‘Abduh (1849-1905), Qasim Amin (1863-1908), Tahir al-Haddad (1899-1935), Fazlur Rahman (1919-1988), dan tokoh pembaru lainnya.[4] Di Mesir misalnya, pemikiran Abduh dan Qasim Amin sangat berpengaruh terhadap usaha pembaruan hukum keluarga yang ada di negara itu.[5]

Secara historis, proses pembaruan hukum keluarga muslim bisa dikelompokkan menjadi tiga fase:[6]

1. Fase tahun 1915-1950 

2. Fase tahun 1950-1971 

3. Fase tahun 1971-sekarang. 


Pada fase pertama, fase 1915-1950, setidaknya ada enam negara yang melakukan pembaruan terhadap hukum keluarga masing-masing. Keenam negara tersebut adalah Turki, Libanon, Mesir, Sudan, Iran, dan Yaman Selatan. Pada fase kedua, fase 1950-1971, setidaknya ada tujuh negara yang melakukan pembaruan terhadap hukum keluarga. Ketujuh negara tersebut meliputi Yordania, Syiria, Tunisia, Maroko, Irak, Algeria, dan Pakistan. Sedang pada fase ketiga, atau fase 1971-sekarang, setidaknya ada sebelas negara yang melakukan pembaruan terhadap hukum keluarga masing-masing. Kesebelas negara tersebut adalah Afganistan, Bangladesh, Libya, Indonesia, Yaman Selatan, Somalia, Yaman Utara, Malaysia, Brunei, Kuwait, dan Republik Yaman.[7]

Adapun bentuk Perundang-undangan yang dihasilkan dari proses pembaruan di atas akan dijelaskan sebagai berikut: 

1. Fase Pertama (1915-1950) 

a. Turki 
Turki menjadi negara yang pertama kali melakukan pembaruan terhadap hukum keluarga yang berlaku. Adapun bentuk Perundang-undangan yang dihasilkan adalah Qanun Qarar al-Huquq al-‘Ailah al-Uthmaniah yang lahir pada tahun 1917. Sebelumnya juga ada Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah yang dipersiapkan tahun 1876, namun di dalamnya tidak terdapat aturan dalam hukum keluarga.[8]

b. Lebanon 
Adapun bentuk Perundang-undangan yang dihasilkan di Libanon adalah Personal Status Law, UU No. 24 Tahun 1948, UU ini berlaku untuk masyarakat Duruz. Sebelumnya, Libanon mengadopsi dan memberlakukan the Ottoman Law of Family Rights Turki. 

c. Mesir 
Setidaknya ada lima produk Perundang-undangan yang dihasilkan di Mesir. Kelima Perundang-undangan tersebut adalah: (1) UU No. 25 Tahun 1920 Tentang Perkawinan dan nafkah; (2) UU No. 20 Tahun 1929 Tentang Perkawinan, berisi beberapa pembaruan terhadap UU No. 25/1920; (3) UU No. 77 Tahun 1943 Tentang Warisan (Qanun al-Mirats); (4) UU No. 71 Tahun 1946 Tentang Wasiat (Qanun al-Wasiah); dan (5) UU No. 48 Tahun 1946 Tentang Wakaf (Qanun al-Usul al-Waqf). 

d. Sudan 
Peraturan tentang perkawinan dan perceraian di Sudan diatur dalam bentuk ketetapan-ketetapan hakim (Manshurat al-Qadi al-Quda) yang terpisah-pisah, yaitu: (1) UU Tentang Nafkah dan Perceraian dalam Manshur No. 17 Tahun 1916; (2) UU Tentang Orang Hilang dalam Manshur No. 24 Tahun 1921; (3) UU tentang Warisan dalam Manshur No. 26 Tahun 1925; (4) UU tentang Nafkah dan Perceraian dalam Manshur 28 Tahun 1927; (5) UU tentang Pemeliharaan Anak dalam Manshur 34 Tahun 1932; (6) UU tentang Talak, Masalah Rumah Tangga (syiqaq dan Nusyuz) dan Hibah dalam Manshur 41 Tahun 1935; (7) UU tentang Perwalian Harta Kekayaan dalam Manshur No. 48 Tahun 1937; (8) UU tentang Warisan dalam Manshur No. 51 Tahun 1943, sekaligus memperbarui Manshur No. 49 Tahun 1939; (9) UU tentang Wasiat dalam Manshur No. 53 Tahun 1945; (10) UU tentang Wali Nikah dalam Manshur No. 54 Tahun 1960, sekaligus memperbarui Manshur No. 35 Tahun 1933. 

e. Iran 
Adapun produk Perudang-undangan yang dihasilkan di Iran adalah Qanun al-Izdiwaj (Marriage Law) Tahun 1931. Selanjutnya, UU Tahun 1931 diperbarui dan diganti dengan Qanun al-Himayat al-Khaniwad (Family Protection Act) 1967. Kemudian diganti lagi dengan Himayat al-Khaniwada (Protection Family) tahun 1975. Setelah revolusi Iran tahun 1979, UU ini dihapuskan. 

f. Yaman Selatan 
Bentuk hukum keluarga yang ada di Yaman Selatan adalah Dekrit Raja (Royal), tahun 1942. Kemudian diperbarui dengan Qanun al-Usrah (Family Law) No. 1 Tahun 1974, ditetapkan tanggal 5 Januari 1974, yang terdiri dari 53 Pasal, dan 5 bab yang meliputi perkawinan, perceraian, akibat putusnya perkawinan, pemeliharaan anak, dan ketentuan umum. 


2. Fase Kedua (1950-1971) 

a. Yordania 
Yordania melahirkan UU No. 92 Tahun 1951 (Qanun Qarar Huquq al-‘Ailah). Sebelum itu, Yordania sempat memberlakukan The Ottoman Law of Family Rights. Kemudian, UU No. 92 Tahun 1951 di atas diperbarui lagi dengan UU yang lebih lengkap Qanun al-Ahwal al-Syakhsiyah (Law of Personal Status) No. 61 tahun 1976. 

b. Syiria 
Di Syiria, produk UU yang dihasilkan adalah Qanun al-Ahwal al-Syakhsiyah al-Suriya (Personal Status) No. 59 Tahun 1953, yang penetapannya berdasarkan Dekrit Presiden. Sebelum itu, Syiria memberlakukan The Ottoman of Family Rights. Kemudian, UU No. 59 Tahun 1953 diperbarui tahun 1975 dengan lahirnya UU No. 34 Tahun 1975. 

c. Tunisia 
Tunisia mengeluarkan produk Undang-undang Qanun al-Ahwal al-Syakhsiyah (Code of Personal Status) No. 66 Tahun 1956. UU ini diberlakukan mulai 1 Januari 1957, dan diperbarui beberapa kali dengan: (1) UU No. 70 Tahun 1958; (2) UU No. 77 Tahun 1959; (3) UU No. 61 Tahun 1961; (4) UU No. 1 dan No. 17 Tahun 1964; (5) UU No. 49 Tahun 1966, dan (6) UU No. 7 Tahun 1980. Awalnya, UU Tahun 1956 memuat 170 Pasal, 10 bab. Kemudian, setelah diperbarui menjadi 213 Pasal dan 12 bab. 

d. Maroko 
Di Maroko, yang berlaku adalah Mudawwanah al-Ahwal al-Syakhsiyah Tahun 1958, yang ditetapkan dengan Dekrit Raja. UU ini memuat 300 Pasal dan 6 bab. 

e. Irak 
Adapun Undang-undang yang berlaku di Irak adalah Qanun al-Ahwal al-Syakhsiyah (Personal Status) No. 188 Tahun 1959. UU ini berlaku sejak Desember 1959, dan mengalami pembaruan beberapa kali dengan: (1) UU No. 11 Tahun 1963; (2) UU No. 21 Tahun 1978; (3) UU No. 72 Tahun 1979; (4) UU No. 57 Tahun 1980; (5) UU No. 156 Tahun 1980; (6) UU No. 189 Tahun 1980; (7) UU No. 125 Tahun 1981; (8) UU No. 34 Tahun 1983; (9) Dekrit No. 1708 Tahun 1981; (10) UU No.147 Tahun 1982; (11) UU No. 1000 Tahun 1983, dan (12) UU No. 11 Tahun 1984. Ada juga UU tentang Hak Rumah bagi isteri yang dicerai, yaitu UU No. 77 Tahun 1983 yang mulai diberlakukan 8 Agustus 1983. Adapun isi UU No. 188 Tahun 1959 memuat 85 Pasal dan 8 bab. 

f. Algeria 
Di Algeria, Peraturan yang dihasilkan adalah Marriage Ordinance No. 274 Tahun 1959, isinya hanya mengatur masalah perceraian. Juga Algerian Family Code No. 11 Tahun 1984, yang mana menjadi UU pertama yang mengatur secara lengkap perkawinan dan perceraian. Algerian Family Code sendiri ditetapkan 9 Juni 1984, memuat 224 Pasal dalam 4 buku. 

g. Pakistan 
Adapun di negara Pakistan, UU yang dihasilkan adalah The Muslim Family Laws Ordinance Tahun 1961. Sebelumnya, Pakistan pernah memberlakukan: (1) Bengal Muhammadan Marriage and Devorce Registration Act 1876, hanya memuat tentang pencatatan perkawinan dan perceraian; (2) Divorce Act 1869; (3) Child Marriage Restraint Act 1929; (4) Muslim Personal Law (Shari’a) Applicants Act 1937; dan (5) Dissolution of Muslim Marriage Act 1939. 


3. Fase Ketiga (1971-sekarang) 

a. Afganistan 
Afganistan melakukan pembaruan terhadap hukum keluarga dengan mengeluarkan Qanun al-Izdiwaj (Hukum Perkawinan) yang diberlakukan di Afganistan tahun 1350 H (1971 M). Pembentukan Qanun al-Izdiwaj didasarkan pada Hukum Keluarga Mesir tahun 1929 dan memiliki ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan Hukum Perkawinan Muslim tahun 1939 India. 

b. Bangladesh 
Sejak meredeka tahun 1971, Bangladesh memberlakukan The Muslim Family Laws Ordinance Tahun 1961 Pakistan. Ketika masih menjadi bagian Pakistan, Bangladesh pernah memberlakukan: (1) Bengal Muhammadan Marriage and Divorce Registration Act 1876; (2) Divorce Act 1869; (3) Child Marriage Restraint Act 1929; (4) Muslim Personal Law (Shari’a) Applicants Act 1937; dan (5) Dissolution of Muslim Marriage Act 1939. Kemudian Bangladesh memberlakukan: (1) Dowry Prohibition Act 1980; (2) Child Marriage Restraint (Amendment) Ordinance 1984; dan (3) The Dowry Prohibition (Amendment) Ordinance 1984. 

c. Libya 
Di Libya, UU yang lahir adalah UU No. 176 Tahun 1972, yakni Law on Women’s Rights in Marriage and Divorce. UU ini memuat 21 Pasal, 3 bab. 

d. Indonesia 
Di Indonesia, setidaknya ada delapan produk Perundang-undangan yang dihasilkan, yaitu: (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan; (2) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974; (3) Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 dan No. 4 Tahun 1975, diganti dengan Peraturan No.2 tahun 1990 tentang Tata Cara Pencatatan Perkawinan dan Perceraian; (4) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 221a Tahun 1975, tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil; (5) PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS); (6) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; (7) PP No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan PP No. 10 Tahun 1983; dan (8) Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, tentang Instruksi Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. 

e. Yaman Selatan 
Yang berlaku di Yaman Selatan adalah The Family Law of 1974. 

f. Somalia 
Di Somalia, UU yang lahir adalah UU Keluarga Somalia (The Family Code of Somalia) Tahun 1975. UU ini terdiri dari 173 Pasal, 4 bab. 

g. Yaman Utara 
Di Yaman Utara, Peraturan yang berlaku adalah Qanun al-Usrah (Family Law) No. 3 Tahun 1978, dan mulai diberlakukan 8 Januari 1978. Sebelumnya, di Yaman Utara telah dikodifikasi UU Kewarisan, Qanun al-Mawaris al-Syari’ah, UU No. 4 Tahun 1976, dan mulai berlaku 24 Pebruari 1976. UU No. 3 Tahun 1978 memuat 159 Pasal, 3 bab. 

h. Malaysia 
Di Malaysia, peraturan yang lahir adalah: (1) UU Keluarga Islam Melaka 1983; (2) Kelantan 1983; (3) Negeri Sembilan; (4) Wilayah Persekutuan 1984; (5) Perak 1984; (6) Kedah No. 1 1984; (7) Pulau Pinang 1985; (8) Terengganu; (9) Pahang 1987 (No. 3); (10) Selangor (No. 2); (11) Johor 1990; (12) Serawak 1991; (13) Perlis 1992; dan (14) Sabah 1992. 

i. Brunei 
Di Brunei, proses pembaruan terhadap keluarga meliputi hal-hal berikut: (1) Tahun 1984 melakukan revisi terhadap UU Brunei (Revision Laws of Brunei). UU Majlis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi No. 20 Tahun 1956 mengalami beberapa perubahan kecil, di samping mengganti namanya menjadi Akta Majlis Ugama dan Mahkamah Kadi Penggal 77 (AKUMKP 77); (2) Bentuk dan isi Akte Penggal 77 prinsipnya sama dengan bentuk dan isi UU Majlis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi No. 20 Tahun 1955, di mana UU Keluarga Islam secara khusus diatur dalam 29 bab/pasal pada bagian VI (Pasal 134-156), dengan judul Marriage and Divorce. Sedang judul Maintenance of Dependants pada bagian VII, mulai dari bab 157-163. Akta Majlis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi Penggal 77, pada prinsipnya sama dengan UU Keluarga Islam di Negeri-negeri Persekutuan Tanah Melayu (Malaysia). 

j. Kuwait 
UU yang berlaku di Kuwait adalah UU No. 5 Tahun 1971, Qanun Wasiyah al-Wajibah. UU Wasiyah Wajibah ini diberlakukan 8 Safar 1391 H, atau 4 April 1971. Negara-negara yang sudah memberlakukan Wasiyah Wajibah adalah Mesir, Maroko, Syiria, dan Tunisia. 

k. Republik Yaman 
Di Republik Yaman, yang berlaku adalah Republic Decree Law No. 20 Tahun 1992. Bersamaan dengan disatukannya kedua negara Yaman Utara dan Yaman Selatan, ditetapkan lah UU Republik Yaman.[9]



Dari gambaran periodeisasi di atas, bentuk pembaruan antara satu negara dengan negara lainnya berbeda-beda. Umumnya, banyak negara yang melakukan pembaruan dalam bentuk taqnin (Undang-undang), ada yang berdasarkan dekrit raja maupun presiden, dan ada pula negara yang melakukannya dalam bentuk ketetapan hakim. [10]


Sementara itu, ada tiga hal yang menjadi tujuan dari pembaruan hukum keluarga Islam. Pertama, untuk unifikasi hukum. Kedua, untuk peningkatan status perempuan. Ketiga, untuk merespon tuntutan zaman dan dinamika perkembangan masyarakat.[11] Tujuan unifikasi hukum dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) unifikasi hukum yang berlaku untuk seluruh warga negara tanpa memandang agama, misalnya di Tunisia; (2) unifikasi yang bertujuan untuk menyatukan dua aliran pokok dalam sejarah Muslim, seperti antara sunni dan syiah, di mana Iran dan Irak ada di dalamnya; (3) kelompok yang berusaha memadukan antar mazhab dalam sunni, karena di dalamnya ada penganut mazhab-mazhab yang bersangkutan; (4) unifikasi dalam mazhab tertentu, misalnya di kalangan pengikut Syafi’i, atau Hanafi, atau Maliki, atau lainnya; (5) unifikasi dengan berpegang pada pendapat imam di luar imam mazhab terkenal, seperti pendapat Ibnu Syubrumah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah dan lain-lain.[12]


Terkait isu-isu hukum keluarga, secara terperinci menurut Tahir Mahmood minimal ada tiga belas isu yang penting mengalami perubahan dalam hukum keluarga. Isu penting tersebut antara lain, definisi perkawinan; batas usia minimal perkawinan; peran wali bagi perempuan dalam perkawinan; pencatatan perkawinan; kemampuan ekonomi dalam perkawinan; poligami; nafkah keluarga; pembatasan hak cerai suami; hak-hak dan kewajiban suami istri setelah perceraian; kehamilan dan implikasinya; hak ijbar orang tua; pembagian dan jumlah hak waris; wasiat wajibah dan isu wakaf. [13]


___________________________________________
[1] Husnul Khatimah, Penerapan Syari’ah Islam, Bercermin pada Sistem Aplikasi Syari’ah Zaman Nabi, cet. ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 35. 

[2] Abu Yasid, Islam Akomodatif; Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal, cet. ke-1, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 2. 

[3] Yang dimaksud dengan maqashid as-Syari’ah adalah tujuan atau prinsip umum diturunkannya syari’at oleh Allah. Ada lima hal yang menjadi tujuan utama syari’at: (1) menjaga agama, (2) menjaga jiwa, (3) menjaga akal, (4) menjaga keturunan, (5) menjaga harta. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai lima prinsip dasar ini, lihat Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Dawabitul Maslahah fi as-Syari’ah al-Islamiah, cet. ke-1 (Kairo: Muassasah Risalah, 1973), hlm. 119. 

[4] Siti Musdah Mulia, “Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia”...hlm. 304. 

[5] Pengaruh Qasim Amin dalam proses pembaruan hukum keluarga Islam di Mesir bisa dilihat dari corak pemikiran yang ia tulis dalam salah satu karya monumentalnya, Tahrir al-Mar ah. Dalam karya itu, Qasim Amin menyatakan bahwa proses reformasi sosial (al-Islah al-Ijtima’i) terhadap perempuan tidak cukup hanya memperbaiki aspek pendidikan semata. Bagi Qasim Amin, reformasi sosial hanya bisa dilakukan dengan adanya penyempurnaan (pembaruan) terhadap hukum keluarga yang berlaku. Untuk itu, dalam Tahrir al-Mar’ah, Qasim Amin menawarkan tiga isu krusial yang perlu disempurnakan dalam masalah hukum keluarga, yaitu: (1) reformasi hukum keluarga; (2) poligami; (3) perceraian. Lihat Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, (Kairo: Maktabah al-Adab, 1899), 114-152. 

[6] Periodesasi ini saya adopsi dari tulisan Khoiruddin Nasution, yang membagi periode pembaruan dalam hukum keluarga islam menjadi tiga. Meski sebenarnya, seperti diakui Khoiruddin Nasution, periodesasi tersebut tidak mesti benar dan ada kemungkinan pengelompokan lain. Lihat Khoiruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran...., hlm. 32. 

[7] Ibid., hlm. 32-43. 

[8] Nasaruddin Umar, Hukum Keluarga Kontemporer di Negara-negara Muslim, Makalah tidak diterbitkan. Disampaikan dalam Seminar Nasional Hukum Materiil Peradilan Agama, antara Cita, Realita, dan Harapan, di Hotel Red Top, Jakarta, 19 Pebruari 2010. 

[9] Dikutip dan diolah dari tabel yang ditulis oleh Khoiruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran...., hlm. 32-43. 

[10] Hilal Malarangan, Pembaruan Hukum Islam dalam Hukum Keluarga di Indonesia, dalam Jurnal Hunafa Vol. 5 No. 1, April 2008, hlm. 39. 

[11] Musdah Mulia, Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia...hlm. 306. 

[12] Khoruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran...., hlm. 44. 

[13] Hafidzoh Almawaly, Kilas Balik Pembaruan Hukum Keluarga, dalam http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=582:fokus-edisi-32--kilas-balik-pembaruan-hukum-keluarga&catid=32:fokus-suara-rahima&Itemid=47, akses tanggal 19-09-2012 jam 8.30. 

No comments:

Post a Comment