Wednesday, September 5, 2012

Status Hukum Wanita yang Mempunyai Dua Suami

Kasus:
Ada seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan. Ketika usia pernikahannya baru berusia tiga bulan, isterinya masuk Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Saat di RSJ istrinya dihamili oleh orang lain dan akhirnya dinikah siri oleh orang yang menghamilinya itu (istri tersebut punya 2 suami secara hukum dan agama).
Dan ketika mau melahirkan, istri meminta materi terhadap suami yang sah secara hukum, tetapi dari pihak suami tidak mau memberi karena bayi itu bukan darah dagingnya. Sang istri menuntut pada suami untuk diadili secara hukum. Bisakah istri tersebut menuntut suami yang sah secara hukum di pengadilan karena tidak memberi nafkah?

Jawaban:
Perbuatan si istri yang melakukan persetubuhan dengan orang lain saat masih terikat perkawinan yang sah adalah terkualifikasi perzinahan (Pasal 284 KUHP). Dan nikah siri baru dilangsungkan saat si istri dalam keadaan telah hamil dengan orang lain.

Poliandri (memiliki suami lebih dari satu) dilarang dalam Islam (haram hukumnya). Keberatan pihak suami untuk tidak memberikan nafkah lahir kepada istri dan calon bayinya, harusnya ditindaklanjuti dengan upaya mengajukan permohonan talak, baik sendiri ataupun melalui kuasanya ke Pengadilan Agama di tempat tinggal si istri dengan mendasarkan alasannya pada ketentuan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang berbunyi sebagai berikut:

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar  disembuhkan;

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

7. Suami melanggar taklik-talak;

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.


Karena dari perkawinan antara suami dengan istri tidak mempunyai anak dan istri nusyuz, maka ketentuan Pasal 149 KHI (kewajiban suami akibat talak) jo. Pasal 152 KHI dapat menjadi penguat dalil permohonan talak yakni :

Bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya, kecuali bila ia nusyuz.

Karena anak yang dikandung oleh si istri adalah anak di luar perkawinan yang sah, sehingga berlakulah ketentuan Pasal 100 KHI yakni:

"Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya."

Namun, pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2012, ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinantelah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dimana salah satu kutipan amar putusannya adalah sebagai berikut :

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan:

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata denganibunya dan keluarga ibunya”

tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca:

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

Sehingga jelas bahwa si suami tidak mempunyai hubungan nasab dengan si calon bayi, karena bukan ayah biologis dari si bayi, sehingga terkait dengan pertanyaan Anda, maka pihak suami tidak mempunyai kewajiban hukum apapun untuk memberi nafkah kepada si istri maupun si bayi.

Setiap orang berhak menempuh upaya hukum apapun, saat dirinya merasa haknya dilanggar. Namun hak yang sama dimiliki juga oleh orang lain, karenanya pihak istri harus bersiap-siap juga untuk digugat, dan dilaporkan balik ke kepolisian atas upaya hukum yang ditempuhnya tersebut.

Dalam masalah ini yang paling penting adalah mempertegas mengenai status perkawinan antara si suami dan istrinya.


No comments:

Post a Comment