Monday, September 3, 2012

Putusan MK Terkait Anak Luar Kawin, Melegakan atau Mengecewakan?

Download PDF Diskusi Hakim Tentang Putusan MK ini

Pada Februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan yang cukup mengejutkan banyak pihak, yaitu dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2012 terkait kedudukan hukum bagi anak luar kawin. Keputusan ini lantas mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak, baik dari kalangan praktisi hukum, akademisi, LSM, MUI, bahkan masyarakat.
Suasana seminar nasional “Kedudukan Anak Luar Kawin Setelah
Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010”
yang diselenggarakan FH Unpad.

“Mengejutkan, putusan MK mengenai pengakuan anak di luar perkawinan. Walaupun melegakan sejumlah pihak, tapi akan ada permasalahan baru yang timbul dari putusan mahkamah konstitusi tersebut,” ungkap Dr. Sonny Dewi Judiasih, SH., MH., staf pengajar Fakultas Hukum (FH) Unpad saat menjadi pembicara dalam acara Seminar Nasional “Kedudukan Anak Luar Kawin Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” di Graha Sanusi Hardjadinata, Kampus Unpad Jl. Dipatiukur No.35 Bandung, Selasa (3/4).

Dalam putusan tersebut, MK menyatakan pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974 tentang Perkawinan diubah dan menjadi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya, yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Menurutnya putusan MK tersebut seharusnya hanya ditujukan bagi anak luar kawin yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang tidak dicatatkan.

“Permasalahan yang timbul bisa berupa, bagaimana status anak luar kawin terhadap ayah biologis dan keluarganya, status terhadap anak-anak kandung dari ayah biologis, bahkan kedudukan anak luar kawin terhadap pewarisan dari ayah biologis dan keluarganya,” kata Sonny dilihat dari perspektif hukum.

Lain halnya dengan yang disampaikan Ketua Komnas Perlindungan Anak, Aris Merdeka Sirait. Komnas Perlindungan anak merupakan pihak yang mendukung atas putusan MK tersebut. Aris menegaskan, adalah tidak adil jika hukum membebaskan laki-laki yang menyebabkan kelahiran anak, dengan meniadakan hak-hak anak tersebut terhadap laki-laki sebagai bapaknya.

“Anak-anak membutuhkan perlindungan. Tidak ada seorang anak pun berkeinginan lahir dari hasil luar kawin dan perzinaan! Dalam perspektif perlindungan anak dan hak konstitusional atas identitas, nama dan kewarganegaraan, putusan MK merupakan putusan yang memastikan bahwa anak mempunyai hak keperdataan dengan ayah biologisnya sebagai wujud keadilan dan hak asasi manusia,” ungkap Aris.

Berbeda pendapat dengan Komnas HAM, MUI merupakan pihak yang kontra terhadap putusan MK. Hadir sebagai pembicara, Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’I, Lc., M.A. Ketua MUI Jabar Bidang Fatwa. Menurutnya, putusan tersebut telah menimbulkan kegelisahan di kalangan umat Islam, dimana putusan tersebut secara tidak langsung melanggar ajaran islam.

“Putusan yang mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah antara anak hasil zina dan lelaki yang menyebabkan kelahirannya tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Padahal hukum waris Islam yang bersumber pada Alquran dan Sunnah secara tegas dan jelas menyebutkan kategori anak yang yang mendapat harta waris,” tambah Prof. Rachmat.

Prof. Rachmat kemudian memberikan rekomendasi bahwa untuk melindungi hak-hak anak hasil zina tidak dilakukan dengan “hubungan perdata” kepada laki-laki yang menyebabkan kelahirannya, melainkan dengan menjatuhkan ta’zir kepada laki-laki tersebut. “Yaitu, berupa kewajiban mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut atau memberikan harta setelah meninggal melalui wasiat wajibah,” lengkapnya.

Dalam kesempatan ini, Dr. Chairuman Harahap, S.H., M.H. dari Komisi III DPR RI. Menurutnya terkait anak yang lahir di luar nikah, merupakan sebuah dilema di tengah kehidupan. Antara keinginan untuk melaksanakan penegakkan hukum secara adil merata, dan upaya mempertahankan sejumlah nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersumber pada ajaran agama dan budaya.

“Vonis MK ini tidak hanya bersentuhan dengan kebutuhan publik, tapi juga menyinggung sebagian yang dianggap otoritas dari eksistensi ajaran agama-agama. Namun karena vonis ini sudah dikeluarkan, maka harus segera dicari titik temunya, agar tidak membingungkan masyarakat,” jelasnya dihadapan ratusan peserta.

Acara yang diselenggarakan Bagian Perdata Fakultas Hukum (FH) Unpad ini dihadiri pula sejumlah narasumber lainnya yang memberikan materi dari berbagai perspektif. Seperti Dr. Andriani Nurdin, S.H., M.H (Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kalteng), Dr. Junimart Girsang, S.H., M.H (Praktisi Hukum) dan artist Machica Mochtar yang berbagi pengalamannya bersama kuasa hukumnya Rusdianto Matulatuwa, S.H.


No comments:

Post a Comment